Dejurnal.com, Bandung – Publik Garut dibuat terkejut dengan kabar terjadinya dua peristiwa dugaan pencabulan kepada anak laki-laki dibawah umur dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, masih di tahun 2023.
Pertama kabar aksi sodomi yang dilakukan oleh remaja kembar asal Kecamatan Cibatu terhadap bocah di bawah umur, kedua dengan ditangkapnya AS, seorang pria berumur 50 tahun yang telah dilaporkan mencabuli belasan bocah lelaki.
Baca juga : 17 Anak Lelaki Jadi Korban Cabul Oknum Guru Ngaji Rumahan, MUI Garut : Kami Mengutuk Perbuatan Itu!
Namun, fakta yang paling mencengangkan dalam kasus ini, pelaku AS dulunya pernah menjadi korban pencabulan. Hal itu terkuak dari hasil pendalaman yang dilakukan pihak kepolisian yang menyebutkan AS dulunya diketahui sebagai mantan korban pencabulan juga.
Aksi cabul yang menimpa AS ini, diterimanya saat dia berusia remaja. Kala itu, menurut pengakuannya kepada penyidik, dia dilecehkan oleh gurunya sendiri.
AS diringkus personel Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Garut belum lama ini, di rumahnya yang berada di Kecamatan Samarang, Garut.
Dia ditangkap, usai dilaporkan seorang tetangganya, karena diduga telah melakukan aksi pencabulan terhadap anak lelaki pelapor, yang masih berusia sekitar 9 tahun.
Usai diamankan dan diinterogasi polisi, AS mengakui perbuatannya. AS mengaku mencabuli tak hanya seorang bocah lelaki saja.
“Berdasarkan hasil pendalaman, jumlah korban seluruhnya ada 17 orang. Rata-rata berusia 9-12 tahun,” ungkap Kasat Reskrim Polres Garut AKP Deni Nurcahyadi.
Deni mengatakan, AS mencabuli belasan bocah itu ketika sedang belajar bersamanya. AS mengklaim diri sebagai guru mengaji. Tapi, polisi menyebutnya sebagai guru home schooling.
“Ini belum bisa kita katakan sodomi, karena masih menunggu hasil visum. Tetapi, yang jelas tersangka melecehkan korban dengan cara menempelkan alat kelaminnya ke pantat korban. Ada juga yang dipaksa untuk mengulum kelamin tersangka,” katanya.
Sementara itu, terkait profesi AS sebagai guru ngaji, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut memastikan jika AS bukanlah ustadz, atau guru ngaji.
Menurut Ketua MUI Garut KH Sirojul Munir, setelah dilakukan penelusuran, AS mengklaim diri sebagai guru ngaji untuk melancarkan aksi kejinya.
“Benar, jadi dia menasbihkan dirinya sebagai guru ngaji hanya sebagai modus operandi saja untuk mencabuli korbannya,” katanya.
MUI juga sudah menelusuri latar belakang, kemudian dasar keilmuan yang bersangkutan. “Kami memastikan dia bukan ustaz atau guru ngaji. Hanya klaim saja,” kata Munir menambahkan.
Aksi pencabulan dengan dalih sebagai guru mengaji ini, dikecam oleh berbagai kalangan. Kementerian Agama (Kemenag) sangat menyayangkan aksi itu bisa terjadi, dan meminta agar para orang tua lebih waspada.
“Kami mengimbau, agar masyarakat lebih waspada. Jika ingin menyekolahkan anaknya untuk belajar agama, silakan berkonsultasi dulu. Dilihat apakah kredibel atau tidak dan lain sebagainya. Supaya tidak terjadi hal-hal seperti ini,” tambah Muhtarom dari Kantor Kemenag Kabupaten Garut.
Fenomena korban pencabulan yang kemudian menjadi pelaku, bukan kali ini saja terjadi di Kota Dodol. Di awal tahun 2023 lalu, publik juga dikejutkan dengan kabar aksi sodomi yang dilakukan oleh remaja kembar asal Kecamatan Cibatu, terhadap bocah di bawah umur.
Kedua pelaku yang merupakan adik-kakak itu, juga diketahui sebagai mantan korban pencabulan di masa lalu. Hal tersebut sempat dibenarkan oleh kuasa hukum para pelaku.
Pendapat Psikolog
Dikutip dari KoranKaltara, Psikolog Fanny Sumajouw menyebutkan bahwa gangguan psikologis menjadi faktor yang membuat orang dewasa nekat melakukan pencabulan kepada anak-anak.
“Aksi pelaku ini termasuk kriteria pedofilia, gangguan deviasi seksual dan penyimpangan seksual. Faktor diantaranya, para pelaku memiliki gangguan psikologis,” ujarnya.
Biasanya, lanjut Fanny, para pelaku ini kemungkinan besar merupakan korban seks saat ia masih di usia anak-anak. Karena korban ini tidak ditangani secara psikologis, membuat para pelaku ingin merasakan sensasi yang sama saat ia sudah memasuki usia dewasa.
Sebelumnya, saat para pelaku ini melakukan aksinya, ia sudah merasa memiliki power untuk menindas calon korbannya yang berusia lebih kecil lagi. Namun, ia mengungkapkan, rata-rata 50 sampai 70 persen karena jadi korban pencabulan.
Terikat dengan masa lalu yang membuatnya terus teringat ini, akhirnya rasa trauma yang belum hilang dianggap bisa menimbulkan perbuatan menyimpang tersebut.
“Selain itu karena pelaku sebelumnya tidak mendapat hukuman yang tegas, maka dianggap perbuatan tersebut adalah hal yang wajar,” terangnya.***Red/Dari Berbagai Sumber