Dejurnal.com, Garut — Suasana di depan Gedung DPRD Kabupaten Garut mendadak memanas. Puluhan massa yang terdiri dari kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Garut bersama warga Desa Sinarjaya, Kecamatan Bungbulang, menggelar aksi demonstrasi menolak dugaan privatisasi lahan negara di kawasan wisata Puncak Guha, Senin(8/9/2025).
Massa datang membawa spanduk, poster, serta bendera merah sebagai simbol perjuangan rakyat. Dalam orasinya, mereka mengecam keras adanya indikasi upaya pengalihan status tanah sempadan pantai menjadi hak milik pribadi. Menurut mereka, hal itu tidak hanya melanggar aturan tata ruang, tetapi juga mengancam ruang hidup masyarakat pesisir yang sejak lama menggantungkan nasibnya pada kawasan tersebut.
“Puncak Guha bukan untuk diperjualbelikan. Itu aset negara yang harus dijaga bersama,” teriak salah seorang orator di tengah kerumunan.
Dalam aksinya, massa juga menyoroti peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Garut yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Mereka menduga BPN membiarkan adanya upaya perampasan lahan, sehingga masyarakat merasa tidak terlindungi dalam sengketa agraria yang tengah berlangsung.
Setelah berorasi, perwakilan massa akhirnya diterima untuk audiensi dengan Komisi II DPRD Garut. Pertemuan itu turut menghadirkan unsur DPRD, pihak eksekutif, BPN Garut, Bagian Hukum Setda, serta tokoh masyarakat Desa Sinarjaya. Dari pihak GMNI, hadir langsung Ketua DPC GMNI Garut, Pandi Irawan.
Dalam forum tersebut, GMNI menyampaikan keresahan warga terkait ancaman privatisasi lahan negara. Hasil diskusi menghasilkan tiga poin kesepakatan:
1. DPRD bersama BPN Garut akan meninjau langsung lokasi Puncak Guha pada Selasa, 16 September 2025.
2. BPN Garut diminta berkoordinasi dengan Kanwil BPN Jawa Barat untuk memperkuat data legalitas tanah.
3. Bagian Hukum Setda Garut diminta memberikan pendampingan hukum bagi masyarakat dalam proses sengketa.
Kesepakatan itu dituangkan dalam berita acara resmi yang ditandatangani seluruh pihak yang hadir.
Ketua DPC GMNI Garut, Pandi Irawan, menegaskan bahwa perjuangan ini tidak berhenti pada audiensi. Menurutnya, isu agraria di Puncak Guha menyangkut dua hal: keberlangsungan hidup masyarakat pesisir dan penyelamatan aset negara dari kepentingan segelintir pihak.
“Kami datang bersama rakyat untuk menolak segala bentuk perampasan tanah negara. Puncak Guha adalah ruang hidup masyarakat, bukan komoditas bisnis. GMNI akan terus mengawal persoalan ini, termasuk menuntut akuntabilitas BPN yang seharusnya berpihak pada rakyat,” ujarnya tegas.
Aksi GMNI dan warga Sinarjaya menjadi pengingat bahwa konflik agraria di Garut belum menemukan jalan damai yang berpihak kepada rakyat. Dengan adanya komitmen DPRD, masyarakat kini berharap proses penyelamatan aset negara di kawasan wisata Puncak Guha benar-benar berjalan serius, sehingga tidak jatuh ke tangan pihak yang hanya mengejar keuntungan pribadi.**Willy