Dejurnal.com, GARUT – Advokat/Konsultan Hukum dan Pemerhati Kebijakan Publik, Dadan Nugraha, memberikan tanggapan terkait ketidakhadiran beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam sidang-sidang penting. Fenomena ini tentunya keprihatinan publik dan harus disikapi secara serius karena DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat daerah memiliki mandat konstitusional yang kuat untuk menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
“Setiap anggota DPRD adalah representasi langsung dari rakyat yang telah memilihnya, oleh karena itu kehadiran dan partisipasi aktif dalam setiap persidangan, khususnya sidang paripurna, adalah kewajiban konstitusional dan etis yang tidak bisa ditawar lagi,” tegas Dadan Nugraha.
Merujuk pada Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa DPRD bersama kepala daerah bertanggung jawab membentuk peraturan daerah, lanjut Dadan, ini secara jelas mengamanatkan keterlibatan aktif setiap anggota dalam proses legislasi dan pengawasan, yang puncaknya terjadi di sidang paripurna.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (yang terakhir diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015) secara spesifik mengatur kewajiban anggota DPRD untuk menaati kode etik dan mematuhi peraturan perundang-undangan. Ketidakhadiran tanpa alasan yang sah, atau sering disebut ‘bolos’ atau ‘alpa’, jelas merupakan pelanggaran serius terhadap kewajiban-kewajiban tersebut,” tandasnya.
Menurut Dadan Nugraha, disini peran penting Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPRD yang wajib dimiliki oleh setiap daerah dimana penyusunannya berdasarkan pedoman dari Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018, merinci secara detail berbagai aspek terkait kehadiran anggota termasuk mengatur jenis-jenis rapat yang wajib dihadiri, persyaratan kehadiran minimum, serta prosedur dan alasan yang sah untuk ketidakhadiran.
“Yang tak kalah penting adalah sanksi progresif yang diatur dalam Tatib, sanksi-sanksi ini dapat bervariasi mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, tidak mendapatkan hak keuangan tertentu (misalnya pemotongan tunjangan kehadiran), pemberhentian sementara dari keanggotaan alat kelengkapan, hingga sanksi terberat yaitu pemberhentian sementara dari keanggotaan DPRD jika ketidakhadiran mencapai batas tertentu (misalnya, 6 kali berturut-turut tanpa alasan sah). “Bahkan, dalam kasus pelanggaran serius dan berulang, bisa berujung pada Pemberhentian Antar Waktu (PAW),” imbuh Dadan.
Selain Tatib, imbuh Dadan, Kode Etik DPRD juga menjadi panduan utama dalam menjaga standar perilaku dan integritas anggota. “Bolos sidang bukan hanya masalah teknis, tetapi juga pelanggaran etika karena mencerminkan ketidakseriusan dalam menjalankan amanah rakyat,” katanya.
Dadan Nugraha menekankan bahwa Badan Kehormatan (BK) adalah alat kelengkapan DPRD yang paling vital dalam menegakkan Tatib dan Kode Etik dimana Fungsi utama BK meliputi penyelidikan, verifikasi dugaan pelanggaran, dan merekomendasikan sanksi kepada pimpinan DPRD.
“Yang menjadi persoalan serius ketika anggota BK pun sering tidak hadir, hal ini secara hukum menimbulkan pertanyaan besar mengenai kapasitas dan independensi BK dalam menjalankan fungsinya. Ketidakhadiran anggota BK dapat diinterpretasikan sebagai pelanggaran etika dan tata tertib oleh anggota BK itu sendiri, yang secara langsung menghambat proses penegakan sanksi terhadap anggota lain yang bolos. Ini juga bisa menjadi indikasi krisis integritas di dalam lembaga legislatif, yang pada akhirnya akan melemahkan kepercayaan publik.” paparnya
Secara hukum, Dadan Nugraha menegaskan bahwa ketidakhadiran anggota DPRD tanpa alasan yang sah adalah pelanggaran terhadap sumpah/janji jabatan dan kewajiban konstitusional, yang dapat berujung pada sanksi administratif hingga pemberhentian.
“Sementara dari dari sisi politik, implikasi yang lebih luas dan serius diantaranya melemahkan Fungsi Legislasi dan Pengawasan, menciderai Demokrasi, Krisis Akuntabilitas dan Integritas serta menjadi Preseden Buruk jika tidak ada tindakan tegas,” katanya
Berkaitan hal itu, Dadan Nugraha menggarisbawahi perlunya langkah-langkah penegakan hukum yang komprehensif, Pertama, transparansi absensi adalah kunci. DPRD wajib mempublikasikan daftar kehadiran anggota dalam setiap persidangan secara terbuka, termasuk alasan ketidakhadiran. Ini esensial untuk meningkatkan akuntabilitas. Kedua, penegakan aturan yang tegas mutlak diperlukan. “Badan Kehormatan dan Pimpinan DPRD harus konsisten dan tegas dalam menerapkan sanksi sesuai Tatib, tanpa pandang bulu. Ketiga, evaluasi kinerja BK sangat penting.
“Jika BK tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perlu ada evaluasi internal atau tekanan dari masyarakat dan media untuk memastikan BK menjalankan tugasnya,” jelasnya.
Dadan mengungkapkan masyarakat sipil, akademisi, dan media massa memiliki peran vital untuk terus mengawasi, mengkritik, dan menekan DPRD agar lebih akuntabel dan transparan. Jika Tatib dirasa longgar, revisi Tatib juga bisa menjadi solusi untuk memperkuat mekanisme penegakan sanksi.
“Singkatnya fenomena bolosnya anggota DPRD adalah masalah serius yang tidak hanya melanggar tata tertib internal, tetapi juga mencederai amanah konstitusional dan kepercayaan publik. Penegakan hukum yang komprehensif membutuhkan komitmen dari internal DPRD, peran aktif Badan Kehormatan, serta pengawasan ketat dari masyarakat.” pungkasnya.***Red