Dejurnal.com, Bandung – Sejak awal Gedung Dinas Arsip dan Perpustakaan (Disarpus) Kabupaten Bandung diresmikan di salah satu sudut ruangan gedung tersebut ada Pojok Sunda. Selain ada beberapa koleksi buku berbahasa Sunda, di sana disimpan juga perkakas yang biasa digunakan orang Sunda dahulu. Ada aseupan, tetenong, lisung, halu, hihid, seeng dan sebagainya.
Kepala Disarpus Kabupaten Bandung, H. Yosep Nugraha mengatakan, di Disarpus Pojok Sunda masih ada, namun keberadaanya belum berkembang karena keterbatas ruang, dan koleksi.
“Saya ingin ke depannya dikembangkan. Perpustakaan ini bisa mengkoleksi peperenian budaya Sunda yang hari ini mungkin sudah tidak dikenal lagi oleh anak muda atau anak melinial,” kata Yosep Nugraha saat dihubungi di kantornya, Selasa (23/11/2021).
Keterbatasan ruang, menurut Yosep akan diantisipasi dengan alih media menjadi media digital, karena Disarpus Kabupaten Bandung sudah punya perpustakaan digital. “Jadi nanti bisa diperluas, diperkaya khazanah peperenian kesundaannya,” ujarnya.
Yosep juga menyebutkan, koleksi buku berbahasa Sunda Disarpus juga sedikit. Dari 15 ribu judul dan 25 ribu eksemplar buku yang ada di Disarpus Kabupaten Bandung, buku yang berbahasa Sunda baru ada 82 judul yang jumlahnya sekitar 246 eksemplar.
Menurut Yosep hal ini tantangan Disarpus untuk terus meningkatkan kapasitas. Hal ini terkait juga dengan minat baca masyarajar Kabuoaten Bandung yang masih terbilang rendah.
“Kabupaten Bandung masuk kategori cukup indek bacanya 56,99 itu berada di interval cukup terbawah, Karena inteval cukup itu hitungannya 55-75, kita 56. Ini minat baca secara umum itu terhadap sumber-sumber informasi baik buku maupun sumber informasi lain,” ungkap Yosep.
Yang kedua, terang Yosep minat baca terhadap sumber-sumber informasi berbahasa Sunda, ini kaitannya juga dengan proses pembudayaan atau pembiasaan.
“Nah, kita bersyukur Pemkab Bandung sudah menyelesaikan Perda tentang pemajuan kebudayaan, karena menurut Yosep rekontruksi kebudayaan itu harus distrong melalui regulasi, karena tanpa regiulasi, kita mengharapkan mislanya kebiasaan dengan sendirinya di masyarakat itu sangat sulit sehubungan dengan arus perubahan yang sangat deras, harus ada kebijakan, meskipun Perda terkait pemajuan kebudayaan belum ditetapkan,” beber Yosep.
Yosep berharap itu ditindak lanjuti dengan bebagai macam regulasi pelaksanaannya, baik peraturan bupatii mengenai penggunaan pakaian, penggunaan bahasa, adat istiadat dan sebagainya, sehingga di tingkat seluruh masyarakat Kabupaten Bandung bersama-sama kemudian menggali, memelihara, mengembangkan, kebudayaan Sunda, salah satunya literasi Sunda.
“Nah, keprihatinan kita kan sekarang minat bacanya masih kurang, sumber informasinya juga terbatas. Sekarang kan kita tahu, penerbit buku bahasa Sunda saja di Jawa Barat sangat kurang. Mungkin hanya ada 1 atau 2 penerbit, ” kata Yosep.
Menurut Yosep ini harus disiasati bagaimana harusnya era digital ini khazanah sumber informasi yang menggunakan bahas Sunda harus sudah menggunanakan media digital. Sehingga masyarakat akan lebih mudah mengakses.
“Kita ingin melibatkan banyak pihak sehingga ada institusional building, Laksam Bedas, kita sekarang sedang merumuskan pembentukan organisasi masyarakat Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca yang di dalamnya ada penerbit, ada pegiat literasi, ada pengelola perpistakaan, ada gurudang. Sehingga gerakan minat baca itu sebagai gerakan yang masif seluruh lapisan masyarakat. Ini menjadi tantangan yang luar biasa, ” tutur Yosep.
Selain itu, Yosep juga sedang melakukan penataan lembaga-lembaga pengelola literasi, perpustaan-perpustaakan, taman bacaan, jadi perhatian kita seniua agar masyarakat itu tertarik untuk datang ke taman bacaan. Datang ke perpustakaan, maka konsep pengelola perpuistakaan haris keren, harus asyik, dan menyenangkan.
“Menset sekarang kan apa yang ada di pikiran orang perpustakaan itu ruangan, buku-buku berjejeran. Ke depan perpustakaan itu dikelola lebih terbuka, sehingga orang datang ke perpustakaan itu asyik, serasa di kape. Mengasyikan bisa berlama lama di perpustakaan.
Yosep menambahkan, pemanfaatan dari keberadaan perpustakaan juga penting , karena untuk apa datang ke perpustakaan kalau tidak ada manfaat yang diperoleh . Karenanya dikembangkan literasi berbasis industri sosial. ” Jadi bagaimana literasi itu memberikan daya manfaat terhadap produksi masyarakat,” tutupnya.***Sopandi